WELCOME TO MY BLOG

Welcome To Make it simple BLOG

Minggu, 22 Mei 2016

Cerpen Harapan Baru

 Harapan Baru


“satu.. dua… tiga..” aku menghitung detik jam dinding kamarku sambil terbaring lemah di tempat tidurku. Semenjak aku mengalami kecelakaan 3 tahun yang lalu, aku mengalami penderitaan yang amat berat. Kini tangan dan kakiku lumpuh, terpaksa harus selalu berada di kamar kecuali jika ada seseorang yang mengajakku dan menuntunku berjalan di luar menggunakan kursi roda. Orang tuaku sudah membawaku berobat kemanapun, namun tiada hasilnya, aku masih tetap lumpuh dan menghabiskan banyak biaya berobat. Namun hal yang paling menyakitkan bagiku ialah semenjak kecelakaan itu juga aku memiliki kelebihan bisa melihat setiap kejadian buruk yang bakal menimpa seseorang. Pernah aku mengutarakannya pada kerabatku yang bakal mengalami kecelakaan dan tewas seketika. Aku berniat mengatakan itu agar dia berhati-hati, namun ia malah tidak mempercayaiku dan memarahiku, seminggu kemudian.. ia mengalami kecelakaan dan tewas, persis dengan apa yang aku katakan. Namun hal itu pula lah yang semakin memperburuk keadaanku, banyak saudaraku, kerabat, dan teman-temanku yang semakin menjauhiku kecuali orang tuaku dan orang yang masih menyayangiku apa adanya.
“senja waktunya makan!” suara suamiku yang terlihat bersemangat itu terdengar, kemudian ia segera membuka pintu kamar dan duduk di kasur tempat aku berbaring. Aku pun memakan setiap sendok makan yang disuapkan oleh suamiku. “surya? Apakah kamu tidak merasa sedih” ucapku ketika sudah selesai makan “memang kenapa?” “sudah 4 tahun kita bersama, tetapi aku hanya memberikan kebahagiaan selama 1 tahun padamu, dan sisanya kamu menderita karenaku, kenapa kamu tidak meninggalkanku saja dan mencari yang lain, aku bahkan tidak bisa memberi keturunan untukmu” ucapku dengan suara sesak. Kulihat wajahnya yang agak sedih ketika aku mengatakan itu, namun wajahnya tiba-tiba berubah ceria lalu berkata “bagiku kamulah cinta pertama dan terakhirku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Dulu kita pernah berjanji untuk selalu bersama apapun yang terjadi, aku tidak mau melanggar janji itu, lagipula aku hanya mencintaimu dan bukan dengan wanita lain” mendengar dia berkata seperti itu mataku langsung berkaca-kaca hatiku terasa haru mendengar kalimat itu, dia memang cinta sejatiku. Lalu ia mengatakan satu kata lagi, “dengarlah kalimat ini, aku sudah merasa bahagia berada di dekatmu, jadi jangan risau, aku tidak merasa sedih sehari pun selama tiga tahun ini”. Ia pun memelukku, memberikan kehangatan kasih dan sayangnya. Tak terasa wajahku telah terguyur air mata yang menyiratkan beribu haru karena ketulusan cintanya.
Aku pun menjadi bersemangat lagi untuk hidup, namun hal itu tidak berlangsung cukup lama, aku mendapat penglihatan lagi, bahwa suamiku akan segera meninggalkan dunia. Hal itu pula membuat mentalku semakin drop. Kenapa seseorang yang sangat dekat denganku akan di panggil oleh sang pencipta tidak lama lagi. Pagi itu adalah hari terakhirnya saat bersamaku, aku mengatakannya dengan terus terang bahwa saat bekerja bangunan kantor akan runtuh dan ia akan meninggal terkena reruntuhan itu, aku bersikeras menahannya hingga tumpah air mataku, namun hal itu sia-sia, dan dia tetap ingin berangkat bekerja. Lebih menyedihkannya lagi ia mengatakan “seandainya aku mendahuluimu pergi dari dunia ini, kamu janganlah bersedih dan berkecil hati, tetaplah jalani hidup ini dengan pantang menyerah.. aku yakin suatu saat nanti kamu akan sembuh dari cacatmu itu, aku yakin takdir bisa di rubah, jika memang tak bisa, Janganlah takut menghadapi takdir, karena kita tak bisa untuk terus bersembunyi dan takut dengan kenyataan yang terjadi” mendengar hal itu aku sedih, aku marah terhadap diriku sendiri, mengapa aku memiliki kelebihan yang sebenarnya tidak pernah aku inginkan dalam hidupku.
Siang itupun aku mendapat kabar bahwa suamiku meninggal tertimpa bangunan, aku amat sedih dan histeris, ingin bunuh diri namun tidak bisa, kelumpuhan dan kelebihan ini membuatku depresi. Dia yang merawatku selama 3 tahun ini telah tiada. Kenanganku yang tersisa hanyalah foto pengantin yang dipajang di dinding kamarku. Hal itu membuatku semakin sedih saat melihat dirinya dalam foto. Orang tuaku tidak tega melihatku berada dalam rumah ini sendirian. Akhirnya mereka memulangkanku ke rumah tempat orang tuaku sendiri. Sedangkan rumahku dibiarkan kosong. Aku tidak ingin berbicara lagi, semua yang telah kumiliki telah tiada, hanya tersisa orang tuaku yang masih sayang kepadaku.
“tes.. tes.. tes..” suara air keran kudengar di belakang, mungkin bocor karena sudah tua, hampir mirip aku. Yang hanya membebani orang yang berada di sekitarku. Kuratapi atap rumah ini yang sudah tua, sudah lama sekali aku tidak berada disini, di kamarku sendiri. Teringat kembali memori waktu kecilku, saat itu aku masih sangat di manja oleh orang tuaku dan sangat diperhatikan dari pada saudaraku yang lain, entah mengapa? Mungkin aku yang paling pintar saat di sekolah dan tidak suka rewel seperti saudaraku yang lain. Kupandang lagi pohon jambu dekat jendela kamarku, di situ pun tergurai kenangan lagi waktu bersama saudaraku dan teman-temanku saat bermain sewaktu kecil. Hanya memikirkan kesenangan dan tidak pernah meraskan kesedihan dan berpikir khawatir. Yah.. aku sangat rindu masa-masa itu.
“krieet..” tiba-tiba pintu kamarku terbuka oleh seseorang, di balik kamar itu terlihat saudaraku dan keluargaku yang bergerombol mendatangiku. “nina kami bermaksud ingin membawamu ke sebuah pengobatan alternatif, kamu mau kan sayang” ucap ibuku. “iya, terserah ibu” hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, wajah orangtuaku serta saudaraku seperti memberi harapan baru padaku, kemudian mereka pun membopongku menuju keluar rumah dan menaikkan aku ke mobil salah satu saudaraku. Aku tidak tahu pengobatan alternatif apa yang akan mereka coba, yang pasti aku tidak pernah berobat kelain tempat selain rumah sakit.
Tibalah aku di sebuah tempat yang cukup hijau, sebuah rumah yang banyak sekali pepohonan, tanaman yang mungkin seperti obat-obatan dan bunga-bunga yang berada di sekitarnya, tiba-tiba munculah seseorang pria yang berpakaian batik membuka pintu itu.
“silahkan masuk” ucap pria itu.
Di dalamnya terdapat alat-alat dokter serta daun-daun seperti jamu. “ini tempat apa?” tanyaku “gini lho nin, jadi disini klinik pengobatan yang menggunakan metode ilmiah, alami, dan spiritual” ucap salah satu saudaraku, aku sedikit melongo, namun aku tidak dapat menyangkalnya bahwa tempat ini benar-benar nyaman, rasanya teduh sekali. Jauh dari keramaian namun disini bukan pedesaan. Tempatnya sungguh strategis. Aku pun dibawa ke sebuah kamar, orang itu sepertinya mulai menerawangku dengan telapak tangannya tanpa menyentuh tubuhku. Dia pun selesai memeriksa dan memberikan sebuah ramuan kepada orang tuaku untuk diminum olehku.
Malam itu pun aku meminumnya, dan langsung tidur. Dalam tidurku aku bermimpi melihat sebuah ilalang dan ada seorang pria yang duduk di sebuah bangku berwarna putih. Akupun mendekatinya, namun aku tak menyangka ternyata dia suamiku “mas syamsi? Kemana saja kamu selama ini?” dia menolehku dengan wajah berseri-seri, “aku menunggumu disini, kau sudah berjalan rupanya” “tolong jangan pergi lagi” teriakku padanya, “sudahlah, iklaskan saja.. jalan hidupmu masih panjang, kelak kamu akan menemukan kebahagiaan baru” tiba-tiba di sekitar tempat itu menjadi semakin putih, putih yang menyilaukan. Hingga aku terbangun dari tidurku lalu berjalan keluar berharap bertemu dengannya, tiba-tiba sebuah tangan menggapaiku, “nina ternyata kamu sudah bisa berjalan sayang?” ternyata ibuku yang menggapaiku dan memelukku meneteskan air mata bahagia. Aku pun baru menyadari bahwa aku bisa berjalan, seolah sebuah mukjizat. Penderitaan selama 3 tahun itu seolah seperti mimpi. Wajahku pun tampak lebih ceria, hari baru kumulai lagi saat ini.’’
3 tahun kemudian
Aku berziarah ke makam mas syamsi sambil meletakkan bunga hatiku berkata “Mas syamsi kini aku punya keluarga baru, dan punya sebuah momongan. Terimakasih untuk semuanya. Tanpamu aku tidak akan pernah sebahagia ini. Kamu telah mengajariku tentang pengorbanan. Kini akulah yang menjadi pewarismu dan mengajarkan pengorbanan pada anak-anak ku, terimakasih, aku akan selalu mengenang jasamu itu”

Minggu, 15 Mei 2016

Cerpen Kegelisahan Seseorang



Kegelisahan Seseorang

Demi hari yang tak pernah melengos, laju lurus waktu, tak pernah mundur. Di belahan bumi yang gelap aku duduk di atas batu pinggiran daratan luas, angin malam menyergap kegalisahan, bulan dan bintang menemani sepi, yang sendiri. Kelelawar seliweran, satu dari mereka menghampiriku.
“Hai orang yang gelisah. Buatlah gelisahmu jadi penasaran, itu lebih baik agar kau mau bergerak, dari pada kau hanya berputar-putar dengan kagalisahanmu, diam dan cuma mendengarkan cerita kegelisahmu itu.”
“Apa maksudmu, kelelawar. Apa itu kata pendahuluanmu untuk menyampaikan sesuatu padaku, berita malam apa yang kau bawa.”
“Ya, memang. Seharusnya kau sudah bisa menebak kabar ini, karena kegelisahanmu sudah cerita berkali-kali padamu. Di daratanmu akan acara yang mengundang banyak orang, acara penyunting jilidan lontar seorang petapa.”
“Ya, itu aku tahu. Tapi apa yang mengharuskan kegelisahan ini ku jadikan penasaran. Biasa sajakan, setiap acara seperti itu pasti mengundang banyak orang dan bahkan dari luar daratan ini.”
“O, masih belum kau sadari juga cerita kegelisahmu, bahwa ada petanda yang akan datang padamu dan petanda itu dibawa oleh seseorang dari meraka yang datang  ke acara itu, mereka yang berasal dari daratan seberang. Seseorang itulah yang harus jadi penasaranmu yang nanti kau tunggu, kau cari, kau temukan. Dialah yang membawa petanda itu.”
“Siapa dia, dan petanda apa yang ia bawa?”
“Carilah sendiri dan tanyakan pada dia petanda apa yang ia bawa untukmu. Sudahlah, aku pergi, aku tak mau kau buat malam ini sia-sia untuk membicarakan hal itu denganmu, mangsaku sedang menantiku.”
“Hai kelelawar, jangan pergi dulu!”
“Cari saja sendiri, usahalah sedikit” kelelawar itu pun melesat pergi.
Pagi ini lebih cerah dari biasanya, seakan langit membocorkan udara surga ke bumi. Seperti pagi-pagi yang lalu, aku sudah duduk jigang di warung pinggir jalan simpang tiga belakang rumahku, menyeduh kopi pahit dan mencumbui rokok menthol kesukaanku. Lalu lalang pengguna jalan sudah jadi pemandangan yang biasa, jika ada yang kenal ya saling sapa, kalau tak kenal ya ku lihat cuek dia berlalu. Disaat seruputan terakhir yang paling nikmat, ada yang menyapaku,
“Hai kawan, tumben wajah gelisahmu tak seperti biasanya.”
“Hai kau, tahu apa kau tentang wajah gelisahku, kau hanya seekor anjing khafilah yang tinggal di pendopo pendeta agung. Kawan, aku sekarang tak hanya gelisah yang diam, tapi juga penasaran yang bergerak untuk berusaha menanti dan mencari seseorang.”
“Augh……  walau aku seekor anjing, tapi anjing yang lebih tahu darimu. Augh…. Siapa seseorang itu?”
“Dia salah satu orang yang akan menghadiri penyunting jilidan lontar sang petapa besok malam.”
“Augh….  Pasti seseorang yang membawa petanda untukmu, seseorang yang sering kudengar dari cerita kegelisahanmu. Tapi, bagaimana kau yakin dapat menemukan dia?”
“Aku yakin karena kegelisahanku tak pernah meleset, lagi pula aku juga dapat kabar dari kelelawar semalam.”
“Augh…. Begitu. Baiklah, selamat menunggu, penasaran!”
“Kawan, apa kau tahu tentang dia? Barang kali kau pernah dengar dari tuanmu atau sang pendeta itu.”
“O, tidak. Augh…. Sudah jangan tanya lagi, percuma aku tak tahu apa-apa tantang dia. Kalau pun tahu aku tidak akan memberi tahumu. aku pergi dulu, kawan.”
Apapun yang terjadi, aku yakin kegelisahanku akan menemukan muaranya, dan penasaranku juga akan terjawab dengan kedatangnya yang memberitahukan patanda untukku. Walau aku tahu akan ada kegelisahan lain yang muncul setelah itu. Suasana sore yang cantik berpoles jingga di kaki langit barat yang menelan matahari, semakain membuatku tak sabar menanti saat-saat itu yang tinggal semalam. O, begitu romantisnya rasa kegelisahan, penasaran membeku dalam lamunan yang terindah. Daun jatuh dipelataran pendopo pendeta agung berbisik padaku sebagai pesan terakhirnya, “Hai orang penasaran. Demi jinggaku sayang, angin menitipkan salam dari dia padaku untukmu. Semalam nanti dia akan berangkat dari daratan dengan kereta sarden ke daratan ini.”
Demi waktu jingga yang menghitam, malam yang hitamnya gagah mendekap putih bulan dan kerlip bintang, aku merasa jabatan tangan telah terjadi bersama pesan yang disampaikan daun padaku. Seperti malam yang kemarin, aku duduk diatas batu pinggiran daratan luas, angin menyergap kegelisahan, sepi, yang sendiri. Walau berkali-kali mendengar cerita kegelisahan yang sama, aku tak merasa jemu, sampai hari yang ditunggu tiba.
Pekat malam, hitamnya sayang, inilah saat yang ditunggu-tunggu semua orang. “Gong… gong… gong….” Suara gong menara padepokan, tepat sebelah kiri pendopo pendeta agung bergema ke seluruh penjuru daratan, sebagai tanda acara penyunting jilidan lontar sang petapa akan dimulai di pendopo itu. Semua orang pun berduyun-duyun datang, orang-orang sekitar daratan ini maupun daratan seberang berkumpul, duduk sama rata bersila tanpa perbedaan.  Tepat pada waktu yang telah ditentukan, Uboh rampe, hidangan di suguhkan dan segala keperluan disiapkan. Ketika suasana hikmat, acara pun dimulai.
Kehikmatan suasana dalam acara itu membuatku tak nyaman. Aku terus digerus kegelisahan, penasaran membuatku gusar tak karuan. Ditengah acara yang panjang, kejenuhan pun menghinggapi sebagian dari mereka yang ada dibarisan belakang, suasana mulai riuh, lalu melunjak gaduh oleh canda tawa, yang tak membuat barisan depan kehilangan khusyuknya. Itu sudah wajar terjadi. Kesempatan bagiku, yang juga di barisan belakang, ikut mengalir kegaduhan canda tawa mereka sembari mencari tahu tentang seorang pembawa petanda untukku. Kemudian mereka memberitahukan ku sebuah nama dan orangnya, ya, seseorang yang kumaksud.
Sejenak aku diam, kupandangi saja dia sambil mendengar kegelisahanku mengiyakan, bahwa dialah sang pembawa petanda. Lalu aku mencari cara, bagaimana aku bisa mendekatinya. Sekali ku coba melewatinya, untuk mengambil beberapa cangkir kopi. Tapi masih belum ku dapati caranya. Ku amati lagi, sambil menikmati kopi dan sebatang rokok. Ya, aku dapat, dan ini pasti berhasil. Aku yakin. Lalu ku temui cantrik padepokan yang ku kenal baik, yang duduk bersebelahan dengan dia dan sedikit babibu ku yang ramah, cukuplah jadi alasan.
“Ae… cantrik. Maaf, aku tidak bisa membantu banyak untuk acara ini”
“O, tak apalah. Dengan kehadiranmu pun sudah membantu.”
“Boleh aku diperkenalkan dengan……!?”  dengan setengah berbisik,
“O ya, kenalkan, dari daratan seberang”
“Hai, aku Nanda.”
“Kuprit.” Ku sebut namaku di perkenalan yang wajar, lalu jabatan tangan yang bukan sekedar rasa dari kegelisahan, nyata. Keakraban dari setiap perbincangan yang mengalir, membuat lupa kekhusyuan acara. Ku tawarkan rokok menthol padanya, kebetulan juga dia suka.
Waktu terus menggelinding, percakapan kami makin asyik, tak terasa acara pun usai, suasana jadi gaduh riuh. Ada yang bergegas pamit, ada yang masih ditempat untuk sekedar beramah tama, membaur keakraban satu sama lain. Yang belum kenal jadi kenal, yang belum dekat hubungannya jadi lebih akrab. Sedangkan para cantrik sibuk membereskan seluruh perlengkapan yang telah dipakai, dan mengemasi barang-barang ketempatnya masing-masing. Aku tak bergegas pulang, karena masih ada yang harus ku cari, tanda yang dibawa Nanda. Aku turut membaur ditengah para cantrik yang di pendopo, bersama orang-orang daratan seberang.
Pagi datang, hitam malam lenyap disapu matahari dengan sinarnya. Aku pun pamit pulang,  berjalan gontai, tubuhku lemas, tenaga yang terkuras begadang semalam bersama para cantrik, ngobrol dengan Nanda. Sesampai di rumah, aku merasakan kegelisahanku menjerat semakin erat, terasa begitu beda kali ini. O. aku yakin, inilah kegelisahan lain yang datang, yang sudah aku kira sebelumnya, kegelisahan baru setelah pertemuanku dengan Ciput. Ah, apa aku ini, kegelisahan yang bercampur bingung, mencari sesuatu yang belum pernah aku temui. Ya, aku harus menemui dia kembali untuk memastikan tanda apa yang dia bawa untukku, aku tak perlu khawatir, dia bilang akan tinggal di daratan ini beberapa hari, dan semalampun aku sudah sengaja membuat sedikit ikatan emosi., dengan membuat janji mengantarkan dia jalan-jalan ke taman pelangi dan mengarungi telaga endut yang menjadi terkenal di daratan ini.
Saat pagi sebentar siang, aku duduk di teras rumah, aku mendengarkan cerita dari kegelisahan baruku untuk pertama kali, aku meyakininya sebagai petunjuk mengetahui tanda yang dibawa orang dari negeri seberang itu, seperti aku meyakini cerita kegelisahanku sebelumnya. Tapi, keyakinan itu terbentur kebingungan yang tak jelas arahnya. Untuk apa tanda itu dan bagaimana rupa tanda itu, tak jelas ku ketahui dari cerita kegelisahanku.
“Hai, orang gelisah!” suara yang tak ku hiraukan, entah siapa dan darimana suara itu.
“Hai, orang gelisah!” suara itu lebih keras memanggilku, yang menyita perhatianku.
“Hai, siapa yang memanggilku itu?” balasku.
“Aku, disini, disamping kakimu, ini si lalat yang memanggilmu. Aku memperhatikanmu sejak tadi, apa sebenarnya yang kau gelisahkan?”
“Eh, kau si lalat. Untuk apa kau bertanya tentang kegelisahanku.”
“barang kali saja aku bisa membantumu untuk mencari jalan keluar dari kegelisahanmu itu. Aku hanya kasihan saja padamu. Kita hidup saja, sudah susah, apalagi ditambah dengan kegelisahan yang membuat mandegnya perjalanan kita meneruskan hidup, ya paling tidak itu menyita, dapat kesia-siaan saja. Kasihan.”
“Tahu apa kau tentang kegelisahanku, aku takkan memberitahu siapapun tentang kegelisahanku, dan juga kau. Kau tak perlu berkhotbah tentang hidup didepanku”
“Brrrr…. hai kawan, tak perlu emosi. Aku hanya mengingatkan saja, bahwa kegelisahan hanya membebani hidup kita saja.”
“O, begitukah pendapatmu tentang kegelisahan. Ku hargai pendapatmu dan terimakasih kau mengingatkan aku. Tapi sayang, aku tak perlu mendengarkanmu. Hidupmu saja tak punya warna, bagaimana kau mengerti tentang kegelisahan dalam hidup. Kau hanya bisa membuat kegelisahan, dengan berseliweran membuat suara berisik dan hinggapi makanan-makanan setelah kau hinggapi kotoran, jijik.”
“Brrrr….  Wessst. Emosi!? Lalu apa pendapatmu tentang kegelisahan itu sendiri, sehingga kau anggap itu adalah warna untuk kau torehkan diatas kanvas, untuk membuat penggalan pesan dalam sejarah hidupmu, agar kau dianggap aktor sandiwara top, padahal kau tak berarti apa-apa dalam catatan kehidupan, yang begitu panjang dan melelahkan untuk di eja.”
“Haah… berisik! pusing, pusing kepalaku ini mendengarkan ocehanmu.” Lalu aku pergi meninggalkan lalat itu.
“Ting tang…. Ting tang…” jam  2 siang, aku bergegas pergi menemui Nanda untuk memenuhi janjiku. Aih… kesempatan. Ku hampiri dia yang sudah menunggu di depan gapuro pendopo, siap untuk menjejakkan kaki, menelusuri jalan menuju taman pelangi dan telaga endut. Langkah demi langkah jejak kami menindih jejak lama, menghentak tanah seperti membuat prasasti kesaksian pada bumi. Suara-suara kami ditangkap dengan sigap oleh angin dan dihempaskan ke segala penjuru lalu di tempelkan di setiap permukaan daun-daun, bagaikan ukiran dinding goa. Ada warna-warna yang muncul begitu saja menghiasi sayap-sayap peri, hitam-putih, biru-jingga, merah-ungu bermotif batik seperti kupu-kupu yang baru bebas  dari serat kepompongnya, terlihat begitu indah di taman pelangi.
Angin berhembus romantis, terasa begitu mesra membelai tubuh kami saat duduk berdua di tepi danau endut yang nampak berkilau jingga, kejernihan sempurna memantulkan warna senja. Terbius decak kagum pada alam, demi Tuhan yang telah menciptakan keindahan dengan guratan-guratanNya yang tak pernah mampu dibaca sempurna oleh manusia. Cita rasa Sang Maha Indah takkan pernah tertandingi. Di luas langit, ada puncak rasa-rasa yang terbang bersama burung-burung pipit yang kembali ke sarangnya diatas pohon. Lelah perjalanan tak mampu menembus kepuasan rasa pada hati yang disemai bunga oleh peri-peri.
Demi malam yang hitamnya gagah memeluk bulan dan kerlip bintang,  putihnya semakin mempesona, aku antar dia kembali ke pendopo, melepas lelah semalam lagi sebelum kembali dia pamit. Serabut bayangannya menerobos mimpi, sungguh ia membuat jaring di sudut ruang, seperti laba-laba hitam mencuri cela angin-angin kamarku. Malam ini, aku sedang tak ingin duduk diatas batu. Aku ingin semalam ini hanya dalam kamarku, duduk menghadap kanvas putih dan mengoleskan warna-warna kegelisahan, yang tak pernah menemukan muaranya. Ku gambar tanda-tanda itu sebagai penggalan cerita terindah sepanjang suratan napasku.
Perpisahan setelah pertemuan  sudah wajar harus diterima, rela atau tidak rela, kulepas kepergiannya dengan do’a, kembali ke daratan asalnya. Demi waktu yang akan berakhir tanpa akhiran, cerita-cerita kegelisahan itu kosong dan akan tetap sama hingga kegelisahan bertemu muaranya.

Sabtu, 07 Mei 2016

Tanggung Jawab Manusia dan Sekitarnya


Tanggung jawab merupakan suatu kesadaran manusia akan perilakunya yang disengaja ataupun tidak disengaja. Tanggung jawab bisa juga di katakan sebagai kewajiban setiap makhluk yang hidup. Tanggung jawab merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan dan sudah ada porsinya masing-masing. Yang namanya kewajiban berarti mau tidak mau, suka tidak suka harus dijalankan. Jika tidak, maka kita sendiri yang akan rugi. Sebagai contoh, kita seorang mahasiswa ataupun mahasiswi kewajiban kita adalah belajar. Jika kita telah menjalankannya berarti kita telah memenuhi tanggung jawab kita sebagai seorang mahasiswa ataupun mahasiswi. Sejauh mana tingkatan belajar kita, maka disitulah kadar pertanggung jawaban kita. Jika kita telah belajar dan memperoleh nilai B maka nilai B inilah yang dinamakan pertanggung jawaban kita selama proses belajar. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang bertanggung jawab penuh atas apa yang ia lakukan. Manusia memiliki tuntutan yang sangat besar untuk bertanggung jawab mengingat ia berperan penting dalam kehidupan sosial dan dalam interaksi sosial, serta dalam kontek individual. Manusia sebagai makhluk individual artinya manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan bertanggung jawab terhadap Sang penciptanya. Tanggung jawab atas diri sendiri harus memiliki kesadaran tingkat tinggi. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya juga muncul akibat adanya suatu nilai-nilai yang di yakini benar keadaannya. Tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya juga berdasarkan atas nilai-nilai yang di yakini manusia tadi. Dalam hal ini, manusia bertanggung jawab atas agama yang dianutnya. Sebagai seorang muslim misalnya, kita bertanggung jawab untuk melakukan kewajiban kita melakukan shalat lima waktu dalam sehari, berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat, menunaikan ibadah shalat jumat bagi laki-laki, dan sebagainya. Contoh lain misalnya, umat kristiani wajib untuk mengikuti kebaktian pada hari minggu dan sebagainya. Begitupun dengan agama-agama yang lainnya yang memiliki tanggung jawabnya masing-masing terhadap agama yang diyakininya. Penerapan tanggung jawab lainnya seperti tanggung jawab dalam konteks pergaulan. Dalam pergaulan kita harus berani. Maksutnya kita harus berani me ngambil resiko atas apa yang kita ucapkan. Berani pula untuk berkata yang sesungguhnya terhadap siapapun yang sedang berinteraksi dengan kita. Dengan rasa tanggung jawab inilah, orang yang kita ajak berinteraksi akan berusaha mempercayai kita. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang rela berkorban demi orang-orang disekitarnya. Menurut sifat dasarnya manusia adalah makhluk bermoral dan juga seorang pribadi yang baik. Karena itulah, manusia memiliki pendapatnya sendiri, perasaan serta angan-angan untuk berbuat dan bertidndak. Sebagai contoh lainnya adalah tanggung jawab terhadap keluarga. Keluarga merupakan masyarakat kecil yang selalu ada dalam lingkup kita. Setiap anggota keluarga wajib atas anggota keluarga lainnya. Ayah bertanggung jawab atas anak dan isterinya. Ibu bertanggung jawab atas suami dan mengurus anak-anaknya. Sedangkan anak-anaknya bertanggung jawab atas aturan-aturan yang telah dibuat di dalam keluarga tadi. Contoh tanggung jawab lain terhadap lingkup yang lebih luas lagi adalah tanggung jawab terhadap Negara. Kita lahir dan besar di suatu Negara berarti Negara telah mencatat keberadaan kita. Sejak lahir itulah sudah banyak norma-norma yang melekat pada diri kita secara tidak tertulis namun nyata. Kita berhak atas pendidikan dan kehidupan yang layak. Maka kita juga bertanggung jawab atas pendidikan kita yaitu meraih belajar sungguh-sungguh dan meraih prestasi. Pada dasarnya manusia yang ada di suatu Negara bertanggung jawab atas norma-norma yang telah melekat pada dirinya. Manusia sendiri dilahirkan ke bumi bukan tanpa peran. Setiap manusia memiliki perannya masing-masing. Manusia yang sadar akan tanggung jawabnya berarti ia telah tahu apa yang harus ia lakukan. Sadar artinya merasa tahu dan ingat akan suatu hal yang harus dijalankannya. Oleh karena itu, setiap manusia harus memiliki kesadaran yang tinggi akan tanggung jawabnya. Karena apabila manusia tadi memiliki kesadaran yang tinggi, maka hidup terasa ringan tanpa tanggung jawab-tanggung jawab yang menumpuk dalam diri kita. Pertanggung jawaban tadi juga harus ada pengorbanannya untuk lolos dalam tanggung jawab kita serta abdikan tanggung jawab kita tadi terhadap diri sendiri, Tuhan, keluarga ataupun negaranya.

Referensi: Buku Ilmu Budaya Dasar, Drs. Djoko Widagdho